Singgasana Kepalsuan

Senyum mengembang di bibirnya. Wajahnya tengadah dengan dada sedikit dibusungkan. Dia berjalan menuju ruang yang penuh gemerlap. Diiringi para abdi setia, yang senantiasa mengekor kepadanya.

Sebuah kursi berukir kepala naga, menghias sisi atas kanan kiri. Memancarkan cahaya keemasan serta biru yang memukau. Lelaki itu membalikkan badan. Matanya menyapu sekeliling ruangan. Dengan senyum yang lagi-lagi dibuat semanis dan seramah mungkin, dia tebar ke seantero ruangan.

Dengan lagak gagah dan berwibawa, dia duduk di kursi singgasananya. Kembali senyum itu mengembang di wajahnya. Senyum kepuasan dan kemenangan.

Semua mata dan kepala menghadap kepadanya. Seakan melihat sosok dewa yang baru saja mawujud. Menjura, memberi hormat sambil berucap kata. Memberi puji-pujian setinggi langit ke tujuh.

Sebelumnya…beberapa hari yang lalu. Terjadi prahara yang maha dasyat. Pertarungan yang meletup karna adanya sebuah ambisi. Saling hajar, saling bunuh, saling aniaya, dan saling tunjukkan kelicikan serta intrik. Siang dan malam, pertarungan tak pernah henti. Demi sebuah tujuan wujudnya sebuah ambisi. Sebuah keinginan yang melahirkan banyak darah dan air mata.

Tubuh-tubuh bergelimpangan meregang nyawa. Rintihan pilu terdengar menghiasi langit kelam. Suara-suara teriakan juga terdengar mengutuk langit. Bercampur aduk dalam sebuah kancah nafsu yang semakin membara.

Satu persatu raga itu mulai membusuk dalam genangan darah. Satu persatu raga yang lain melangkah dalam kepuasan. Menginjak mayat-mayat yang tak mengerti apa pun untuk apa semua ini.

Sebuah tatanan baru telah muncul. Sebuah singgasana baru telah dibangun. Lewat sejuta air mata dan darah yang membanjir. Selalu terulang dan akan terus terulang lagi. Sampai akhirnya semua musnah tanpa ada satu pun yang sanggup mencegahnya.

Pilar-pilar megah telah berdiri. Dibangun dari puing-puing kehancuran sebuah peradaban. Singgasana baru telah lahir…dari kepalsuan yang membelenggu.